Kamis, 16 Desember 2010

Inkontinensia Lansia.Sunu


Askep Klien Lansia di Keluarga dengan Inkontinensia


Pendahuluan
Inkontinensia Urine bukan merupakan tanda-tanda normal penuaan. Inkontinensia urine selalu merupakan suatu gejala dari masalah yang mendasari. Jutaan lansia mengalami beberapa kehilangan kendali volunter. Masalah kontinensia urinarius dibagi menjadi akut atau persisten dan dapat berkisar dari kehilangan kontrol kandung kemih ringan sampai inkontinensia total. Inkontinensia akut terjadi secara tiba-tiba dan biasanya akibat  dari penyakit akut. Sering terjadi pada individu yang dirawat dirumah sakit, inkontinensia akut biasanya hilang setelah penyakit sembuh. Inkontinensia akut juga dapat akibat dari obat , terapi, dan faktor lingkungan.
Inkontinensia persisten diklasifikasikan  menjadi inkontinensia urgensi, inkontinensia stres, inkontinensia overflow, dan inkontinensia fungsional. Inkontinensia urgensi adalah keinginan kuat yang tiba-tiba untuk  berkemih disertai keluarnya urine. Inkontinensia stres adalah keluarnya urine dengan tiba-tiba akibat aktvitas fisik seperti tertawa, bersin, batuk, mengagangkat beban, melompat atau membungkuk. Inkontinensia overflow adalah sering keluarnya urine atau kadang konstan akibat kandung kemih yang terlalu penuh. Inkontinensia fungsional terjadi akibat imobilitas atau kerusakan kognitif dengan saluran kemih bawah tetap utuh. Beberapa tipe inkontonensia dapat terjadi bersamaan.
Banyak lansia menerima Inkontinensia sebagai bagian dari proses penuaan dan tidak  melaporkan adanya masalah. Wanita yang baru saja melahirkan seringa menerima Inkontinensia sebagai konsekuensi normal penuaan dan melahirkan. Inkontinensia dapat sangat memalukan atau membuat frustasi, yang membuat sebagian lansia menolak untuk mendiskusikannya. Mereka mungkin takut terhadap pembedhan dan tidak mengetahui adanya pilihan terapi.
Periklanan turut memunculkan anggapan bahwa Inkontinensia merupakan bagian normal dari penuaan yang dapat diterima, seperti yang digambarkan dalam iklan yang menggunakan orang yang berwajah muda dan aktif untuk menjual produk Inkontinensia.
Inkontinensia adalah penyebab terbanyak masuknya lansia ke panti wreda. Biaya perawatan Inkontinensia – suplai, benatu, dan asuhan keperawatan-sangatlah mahal. Kontinensia merupakan kemampuan yang dipelajari, yang memerlukan saluran genitourinaria yang utuh, sfingter yang kompeten, fungsi kognitif dean fisik yang adekuat, motivasi dan lingkungan yang tepat untuk  berkemih.
Penyebab Inkontinensia akut mencakup konfusi, dehidrasi, obat yang diresepkan, uretritis, dan vaginitis atrofik. Infeksi, khususnya infeksi saluran kemih (ISK) simtomatik, juga dapat menyebabkan Inkontinensia. Inkontinensia urine dapat disebabkan ketidakseimbangan  endokrin, seperti hiperkalsemia dan hiperglikemia. Keterbatasan mobilitas dan penyakit yang menyebabkan retensi urine dapat mencetuskan Inkontinensia urine atau dapat akibat depresi pada lansia.
Proses menua (aging) merupakan suatu perubahan progresif pada organisme yang telah mencapai kematangan intrinsik dan bersifat irreversibel serta menunjukkan adanya kemunduran sejalan dengan waktu. Proses alami yang disertai dengan adanya penurunan kondisi fisik, psikologis maupun sosial akan saling berinteraksi satu sama lain . Proses menua yang terjadi pada lansia secara linier dapat digambarkan melalui tiga tahap yaitu, kelemahan (impairment), keterbatasan fungsional (functional limitations), ketidakmampuan (disability), dan keterhambatan (handicap) yang akan dialami bersamaan dengan proses kemunduran.
Transisi demografi pada kelompok lansia terkait dengan status kesehatan lansia yang lebih terjamin, sehingga usia harapan hidup lansia lebih tinggi dibanding masa-masa sebelumnya . Pertambahan jumlah lansia di Indonesia dalam kurun waktu tahun 1990 – 2025, tergolong tercepat di dunia . Pada tahun 2002, jumlah lansia di Indonesia berjumlah 16 juta dan diproyeksikan akan bertambah menjadi 25,5 juta pada tahun 2020 atau sebesar 11,37 % penduduk dan ini merupakan peringkat keempat dunia, dibawah Cina, India dan Amerika Serikat . Sedangkan umur harapan hidup berdasarkan sensus BPS tahun 1998 masing-masing untuk pria 63 tahun dan perempuan 67 tahun. Angka di atas berbeda dengan kajian WHO (1999), dimana usia harapan hidup orang Indonesia rata-rata adalah 59,7 tahun dan menempati urutan ke-103 dunia.
Data statistik tersebut mengisyaratkan pentingnya pengembangan keperawatan gerontik di Indonesia. Walaupun secara historis, jauh sebelum keperawatan gerontik berkembang menjadi sebuah spesialisasi pada dasarnya keperawatan memiliki peran yang besar terhadap pemberian pelayanan keperawatan bagi lansia. Fokus asuhan keperawatan pada lansia ditujukan pada dua kelompok lansia, yaitu (1) lansia yang sehat dan produktif, dan (2) lansia yang memiliki kerentanan tubuh dengan ditandai kondisi fisik yang mulai melemah, sakit-sakitan, dan daya pikir menurun . Pemberian asuhan keperawatan bagi kedua kelompok tersebut bertujuan untuk memenuhi harapan-harapan yang diinginkan oleh lansia yaitu memiliki kualitas hidup yang lebih baik dan produktif dalam tiga dimensi, yaitu fisik, fungsional, dan kognitif. Berbagai penelitian melaporkan bahwa peningkatan kualitas ketiga dimensi tersebut dapat meningkatkan harapan hidup lansia yang lebih sehat.

A. Definisi
Inkontinensia urine adalah pelepasan urine secara tidak terkontrol dalam jumlah yang cukup banyak.
Sehingga dapat dianggap merupakan masalah bagi seseorang.

ANATOMI DAN FISIOLOGI GINJAL

Ginjal merupakan organ yang berbentuk seperti kacang, terletak retroperitoneal, di kedua sisi kolumna vertebralis daerah lumbal. Ginjal kanan sedikit lebih rendah dibandingkan dengan ginjal kiri karena tertekan ke bawah oleh hati. Kutub atasnya terletak setinggi kosta 12, sedangkan kutub atas ginjal kiri terletak setinggi kosta 11. Setiap ginjal terdiri dari 600.000 nefron. Nefron terdiri atas glomerulus dengan sebuah kapiler yang berfungsi sebagai filter. Penyaringan terjadi di dalam sel-sel epitelial yang menghubungkan setiap glomerulus.



Ginjal merupakan organ terpenting dari tubuh manusia maka dari itu ginjal mempunyai beberapa fungsi seperti : mengatur keseimbangan cairan tubuh dan elektrolit dan asam basa dengan cara menyaring darah yang melalui ginjal, reabsorpsi selektif air, elektrolit dan non elektrolit, serta mengekskresikan kelebihannya sebagai kemih. Ginjal juga mengeluarkan sampah metabolisme (seperti urea, kreatinin, dan asam urat) dan zat kimia asing. Akhirnya selain regulasi dan ekskresi, ginjal juga mensekresi renin yang penting untuk mengatur tekanan darah, juga bentuk aktif vitamin D yaitu penting untuk mengatur kalsium, serta eritropoeitin yang penting untuk sintesis darah.


Kedua ureter merupakan saluran yang panjangnya 25 sampai 30 cm, yang berjalan dari ginjal sampai kandung kemih. Fungsi satu-satunya adalah menyalurkan kemih ke kandung kemih. Kandung kemih adalah salah satu kantong berotot yang dapat mengempis dan berdilatasi, terletak di belakang simpisis pubis. Kandung kemih memiliki 3 muara antara lain dua muara ureter dan satu muara uretra. Dua fungsi kandung kemih adalah sebagai tempat penyimpanan kemih dan mendorong kemih keluar dari tubuh melalui uretra. Uretra adalah saluran kecil yang dapat mengembang, yang berjalan dari kandung kemih sampai keluar tubuh. Panjangnya pada wanita sekitar 4 cm dan pada pria sekitar 20 cm.

Perubahan fungsi ginjal berhubungan dengan usia, dimana pada peningkatan usia maka pengaturan metabolisme air menjadi terganggu yang sering terjadi pada lanjut usia. Jumlah total air dalam tubuh menurun sejalan dengan peningkatan usia. Penurunan ini lebih berarti pada perempuan daripada laki-laki, prinsipnya adalah penurunan indeks massa tubuh karena terjadi peningkatan jumlah lemak dalam tubuh. Pada lanjut usia, untuk mensekresi sejumlah urin atau kehilangan air dapat meningkatkan osmolaritas cairan ekstraseluler dan menyebabkan penurunan volume yang mengakibatkan timbulnya rasa haus subjektif. Pusat-pusat yang mengatur perasaan haus timbul terletak pada daerah yang menghasilkan ADH di hypothalamus.

Pada lanjut usia, respon ginjal pada vasopressin berkurang bila dibandingkan dengan usia muda yang menyebabkan konsentrasi urin juga berkurang, Kemampuan ginjal pada kelompok lanjut usia untuk mencairkan dan mengeluarkan kelebihan air tidak dievaluasi secara intensif. Orang dewasa sehat mengeluarkan 80% atau lebih dari air yang diminum (20 ml/kgBB) dalam 5 jam.

PENGATURAN DEURISIS NORMAL 

Proses berkemih yang normal adalah suatu proses dinamik yang secra fisiologik berlangsung dibawah control dan kordinasi system saraf pusat dan system saraf tepi didaerah sakrum. Saat periode pengisian kandung kemih, tkanan didalamnya tetap rendah (dibawah 15 mmH2O). sensasi pertama ingin berkemih biasanya timbul pada saatt volume kandung kemih mencapai antara 150 -350 ml. kapasitas kandung kemih normal bervariasi sekitar 300-600 ml. 

Bila proses berkemih terjadi, otot - otot destrusor dari kandung kemih berkontraksi, diikuti relaksasi dari spingter dan uretra. Secara garis besar, proses berkemih diatur oleh pusat reflex berkemih didaerah sacrum. Jaras aferen lewat persarafan somatic dan otonom membawa informasi tentang isi kandung kemih kemedula spinalis sesuai pengisian kandung kemih.

Secara umum denganbertambahnya usia maka kapasitas kandung kemih juga menurun. Sisa urin dalam kandung kemih, setiap selesai berkemih, cendrung dan kontrakso otot – otot kandung krmih yang tidak teratur makin sering terjadi.


B. Klasifikasi
Inkontinensia urine di klasifikasikan menjadi 3 ( Charlene J.Reeves at all )
1. Inkontinensia Urgensi
Adalah pelepasan urine yang tidak terkontrol sebentar setelah ada peringatan ingin melakukan urinasi. Disebabkan oleh aktivitas otot destrusor yang berlebihan atau kontraksi kandung kemih yang tidak terkontrol.
2. Inkontinensia Tekanan
Adalah pelepasan urine yang tidak terkontrol selama aktivitas yang meningkatkan tekanan dalam lubang intra abdominal. Batuk, bersin, tertawa dan mengangkat beban berat adalah aktivitas yang dapat menyebabkan inkontinensia urine.
3. Inkontinensia Aliran Yang Berlebihan ( Over Flow Inkontinensia )
Terjadi jika retensi menyebabkan kandung kemih terlalu penuh dan sebagian terlepas secara tidak terkontrol, hal ini pada umumnya disebabkan oleh neurogenik bladder atau obstruksi bagian luar kandung kemih.

C. Etiologi
Inkontinensia urine pada umumnya disebabkan oleh komplikasi dari penyakit seperti infeksi saluran kemih, kehilangan kontrol spinkter dan perubahan tekanan yang tiba-tiba pada abdominal.

D. Manifestasi klinik
Melaporkan merasa desakan berkemih, disertai ketidakmampuan mencapai kamar mandi karena  telah mulai berkemih.
Desakan, frekuensi, dan nokturia
Inkontinensia stres, dicirikan dengan keluarnya sejumlah kecil urine ketika tertawa, bersin, melompat, batuk, atau membungkuk.
Inkontinensia overflow, dicirikan dengan aliran urine buruk atau lambat dan merasa menunda atau mengejan
Inkontinensia fungsional, dicirikan dengan volume dan aliran urine yang adekuat
Higiene buruk atau tanda-tanda infeksi
Kandung kemih terletak di atas simfisis pubis

E. Patofisiologi
Inkontinensia urine bisa disebabkan oleh karena komplikasi dari penyakit infeksi saluran kemih, kehilangan kontrol spinkter atau terjadinya perubahan tekanan abdomen secara tiba-tiba. Inkontinensia bisa bersifat permanen misalnya pada spinal cord trauma atau bersifat temporer pada wanita hamil dengan struktur dasar panggul yang lemah dapat berakibat terjadinya inkontinensia urine. Meskipun inkontinensia urine dapat terjadi pada pasien dari berbagai usia, kehilangan kontrol urinari merupakan masalah bagi lanjut usia.

F. Pemeriksaan Diagnosa
Urinalisis digunakan untuk melihat apakah ada bakteri, darah dan glukosa dalam urine.
Uroflowmeter digunakan untuk mengevaluasi pola berkemih dan menunjukkan obstruksi pintu bawah kandung kemih dengan mengukur laju aliran ketika pasien berkemih.
Cysometry digunakan untuk mengkaji fungsi neuromuskular kandung kemih dengan mengukur efisiensi refleks otot destrusor, tekana dan kapasitas intravesikal, dan reaksi kandung kemih terhadap rangsangan panas.
Urografi ekskretori bawah kandung kemih dengan mengukur laju aliran ketika pasien berkemih.
Cysometry digunakan untuk mengkaji fungsi neuromuskular kandung kemih dengan mengukur efisiensi refleks otot destrusor, tekana dan kapasitas intravesikal, dan reaksi kandung kemih terhadap rangsangan panas.
Urografi ekskretorik, disebut juga pielografi intravena, digunakan untuk mengevaluasi struktur dan fungsi ginjal, ureter dan kandung kemih.
Voiding cystourethrography digunakan untuk mendeteksi ketidaknormalan kandung kemih dan uretra serta mengkaji hipertrofi lobus prostat, striktur uretra, dan tahap gangguan uretra prostatik stenosis(pada pria).
Uretrografi retrograde, digunakan  hampir secara eksklusif pada pria, membantu diagnosa striktur dan obstruksi orifisium uretra.
Elektromiografi sfingter eksternal mengukur aktivitas listrik sfingter urinarius eksternal.
Pemeriksaan rektuum pada pasien pria dapat menunjukkan pembesaran prostat atau nyeri, kemungkinan menandakan hipertrofi prostat jinak atau infeksi. Pemeriksaan tersebut juga dapat menunjukkan impaksi yang mungkin menyebabkan Inkontinensia.
Pemerikasaan vagina dapat memeperlihatkan kekeringan vagina atau vaginitis atrofi, yang menandakan kekurangan estrogen.
Kateterisasi residu pascakemih digunakan untuk menentukan luasnya pengosongan kandung kemih dan jumlah urine yang tersisa dalam kandung kemih setelah pasien ber.
Pemerikasaan vagina dapat memeperlihatkan kekeringan vagina atau vaginitis atrofi, yang menandakan kekurangan estrogen.
Kateterisasi residu pascakemih digunakan untuk menentukan luasnya pengosongan kandung kemih dan jumlah urine yang tersisa dalam kandung kemih setelah pasien berkemih.

G. Therapi
Urgensi
Cream estrogen vaginal, anticolenergik, imipramine (tofranile)
Diberikan pada malam hari
Klien dianjurkan untuk sering buang air kecil
Over flow inkontinensia
Farmakologis prazocine (miniprise) dan cloridabetanecol (urecholine)
Diberikan untuk menurunkan resistensi bagian luar dan meningkatkan kontraksi kandung kemih.
Terapi perilaku meliputi latihan berkemih, latihan kebiasaan dan waktu kemih, penyegaran berkemih, dan latihan otot panggul (latihan Kegel).Penedekatan yang dipilih disesuaikan dengan  masalah pasien yang mendasari. Latihan  kebiasaan dan latihan berkemih sangat sesuai untuk pasien yang mengalami Inkontinensia urgensi. Latihan otot panggul sangat baik digunakan oleh pasien dengan fungsi kognitif yang utuh yang mengalami Inkontinensia sekunder akibat overflow. Teknik tambahan, seperti umpan balik biologis dan rangsangan listrik, berfungsi sebagai tambahan pada terapi perilaku.
Latihan kebiasaan, bermanfaat bagi pasien yang mengalami demensia atau kerusakan kognitif, mencakup menjaga jadwal berkemih yang tetap, biasanya setiap 2 sampai 4 jam. Tujuannya adalah pasien dapat berkemih sebelum secara tidak sengaja berkemih. Latihan kembali berkemih dapat bermanfaat bagi pasien dengan fungsi kognitif yang utuh. Latihan ini mengajarkan pasien untuk menahan desakan berkemih, secara bertahap meningkatkan kapasitas kandung kemih dan interval antara berkemih. Ketika kapasitas meningkat, urgensi dan frekuensi berkurang.
Spiral dapat diresepkan untuk pasien wanita yang mengalami kelainan anatomi seperti prolaps uterus berat atau relaksasi pelvik. Spiral tersebut dipakai secara internal, seperti diafragma kontrasepsi, dan menstabilkan dasar kandung kemih  serta uretra, yang mencegah inkontinensia selama ketegangan fisik.
Penggunaan kateter jangka pendek dapat diresepkan bagi pasien pria untuk membantunya mencegah berkemih secara tidak sengaja dengan efektif. Penggunaan kondom terus menerus harus dihindari, karena dapat menyebabkan ISK dan iritasi kulit.


H. ASKEP INKONTINENSIA URINE
PENGKAJIAN
KU 
Anamnesa
Riwayat Penyakit
Harus menekankan pada gejala yang muncul secara rinci agar dapat ditentukan tipe inkontinensia, patofisiologi dan faktor-faktor pemicu.
Lama dan karakteristik inkontinensia urin
Waktu dan jumlah urin pada saat mengalami inkontinensia urin dan saat kering (kontinen). Asupan cairan, jenis (kopi, cola, teh) dan jumlahnya. Gejala lain seperti nokturia, disuria, frekwensi, hematuria dan nyeri. Kejadian yang menyertai seperti batuk, operasi, diabetes, obat-obatan. Perubahan fungsi usus besar atau kandung kemih. Penggunaan pad atau Modalitas lainnya.
Pengobatan inkontinensia urin sebelumnya dan hasilnya

Riwayat medis harus memperhatikan masalah-masalah seperti diabetes, gagal jantung, insufisiensi vena, kanker, masalah neurologis, stroke dan penyakit Parkinson. Termasuk di dalamnya riwayat sistem urogenital seperti pembedahan abdominal dan pelvis, melahirkan, atau infeksi saluran kemih. Evaluasi obat-obatan baik yang dibeli dengan resep maupun dibeli bebas juga penting dilakukan. Beragam obat dikaitkan dengan inkontinensia urin seperti hipnotik sedatif, diuretik, antikolinergik, adrenergik dan calcium channel blocker. Biasanya ada hubungan dengan waktu antara penggunaan obat-obatan dengan awitan inkontinensia urin atau memburuknya inkontinensia yang sudah kronik.


Pemeriksaan Fisik
Tujuan pemeriksaan fisik adalah mengenali pemicu inkontinensia urin dan membantu menetapkan patofisiologinya. Selain pemeriksaan fisik umum yang selalu harus dilakukan, pemeriksaan terhadap abdomen, genitalia, rectum, fungsi neurologis, dan pelvis (pada wanita) sangat diperlukan.

Pemeriksaan abdomen harus mengenali adanya kandung kemih yang penuh, rasa nyeri, massa, atau riwayat pembedahan. Kondisi kulit dan abnormalitas anatomis harus diidentifikasi ketika memeriksa genitalia. Pemeriksaan rectum terutama dilakukan untuk medapatkan adanya obstipasi atau skibala, dan evaluasi tonus sfingter, sensasi perineal, dan refleks bulbokavernosus. Nodul prostat dapat dikenali pada saat pemeriksaan rectum. Pemeriksaan pelvis mengevaluasi adanya atrofi mukosa, vaginitis atrofi, massa, tonus otot, prolaps pelvis, dan adanya sistokel atau rektokel. Evaluasi neurologis sebagian diperoleh saat pemeriksaan rectum ketika pemeriksan sensasi perineum, tonus anus, dan refles bulbokavernosus. Pemeriksaan neurologis juga perlu mengevaluasi penyakit-penyakit yang dapat diobati seperti kompresi medula spinalis dan penyakit parkinson. Pemeriksaan fisik seyogyanya juga meliputi pengkajian tehadap status fungsional dan kognitif, memperhatikan apakah pasien menyadari keinginan untuk berkemih dan mengunakan toilet.

Pemeriksaan Pada Inkontinensia Urin
Tes diagnostik pada inkontinensia urin. Menurut Ouslander, tes diagnostik pada inkontinensia perlu dilakukan untuk mengidentifikasi faktor yang potensial mengakibatkan inkontinensia, mengidentifikasi kebutuhan klien dan menentukan tipe inkontinensia.
Mengukur sisa urin setelah berkemih, dilakukan dengan cara :
Setelah buang air kecil, pasang kateter, urin yang keluar melalui kateter diukur atau menggunakan pemeriksaan ultrasonik pelvis, bila sisa urin > 100 cc berarti pengosongan kandung kemih tidak adekuat.
Urinalisis
Dilakukan terhadap spesimen urin yang bersih untuk mendeteksi adanya faktor yang berperan terhadap terjadinya inkontinensia urin seperti hematuri, piouri, bakteriuri, glukosuria, dan proteinuria. Tes diagnostik lanjutan perlu dilanjutkan bila evaluasi awal didiagnosis belum jelas. Tes lanjutan tersebut adalah :
Tes laboratorium tambahan seperti kultur urin, blood urea nitrogen, creatinin, kalsium glukosa sitologi. Tes urodinamik untuk mengetahui anatomi dan fungsi saluran kemih bagian bawah Tes tekanan urethra mengukur tekanan di dalam urethra saat istirahat dan saat dianmis. Imaging tes terhadap saluran perkemihan bagian atas dan bawah


DIAGNOSA
Iritasi kulit genital b/d frekuensi berkemih yang berlebih
Penurunan isyarat kandung kemih b/d disfungsi neuromuskular
Resiko kekurangan cairan b/d out put berlebihan
Resiko cedera fisik b/d fungsi tubuh, lantai yang licin

RENCANA INTERVENSI

Diagnosa 1 : Iritasi kulit b/d frekuensi berkemih yang berlebih.
Tujuan : tidak terjadi iritasi kulit
Kh : lipatan paha tidak lembab, tidak ada iritasi kulit
Rencana intervensi :
Identifikasi klien yang memungkinkan mengalami ulkus
Anjurkan Cuci area setelah BAK,
bilas dan keringkan area setelah BAK
Anjurkan menggunakan pakaian dalam yang bersih dan menyerap air
Ajarkan pencegahan infeksi kandung kemih
Pastikan privasi dan kenyamanan klien terjaga

Diagnose 2 : Penurunan isyarat kandung kemih b/d disfungsi neuromuskular
Tujuan : klien mampu merasakan rangsangan untuk BAK
Kh : klien mengungkapkan keinginan untuk berkemih
Intervensi :
Latihan kekuatan dengan latihan kegel 
Ajarkan untuk mengurangi tekanan intra adbomen
Ajarkan untuk menghentiknan dan memulai aliran urin tiap kali berkemih
Berikan motivasi untuk meningkatkan control kandung kemih
Jika diperlukan lakukan tindakan pengosongan kandung kemih
Ajarkan klien tekhnik relaksasi

Diagnose 3 : Resiko kekurangan cairan b/d out put berlebihan
Tujuan : mempertahankanhidarasi normal
Kh : tidak terdapat tanda – tanda dehidrasi
Intrevensi :
Kaji pola berkemih klien
Kaji output dan input cairan klien
Berikan ciran dengan jarak 2 jam
Anjurkan klien untuk Perbanyak masukan cairan
Observasi tanda – tanda dehidrasi

Diagnosa 4 : Resiko cedera fisik b/d penurunan fungsi tubuh, lantai yang licin
Tujuan : terjadi peningkatan keamanan dan keselamatan
Kh : tidak terjadi kecelakaan fisik
Intervensi : 
Berikan lansia alat bantu untuk meningkatkan keselamatan
Bantu klien kekamar mandi
Jangan biarkan klien sendirian 
Pasang pegangan dikamar mandi
Hindarkan lampu yang redup dan menyilaukan 



SUMBER PUSTAKA
Stockslager, Jaime L. 2007. Buku Saku Asuhan Keperawatan Geriatrik. Jakarta : EGC
Charlene J. Reeves at all. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : Salemba Medica, 2001.
Watson, Roger. 2003.  Perawatan Pada Lansia. Jakarta. EGC
Darmojo, R. boedhi. 2004. Buku Ajar Geriatric, Ilmu Kesehatan Usia Lanjut,Edisi 3. Jakarta : FKUI
Stanlley, mickey. 2006. Buku Ajar Keperawatan Gerontik, Edisi 2. Jakarta : EGC